judul baru

Sunday 11 December 2011

tokoh filsafat barat

by: arifin jamil




PERBANDINGAN KONSEP PENGAJARAN, PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN BARAT DAN TIMUR

A.   PENGENALAN
Pendidikan dan kehidupan berkait rapat dengan harmoni dalam menentukan mutu kehidupan manusia supaya pendidikan berupaya melahirkan bangsa yang kuat dan mulia. Pendidikan perlu dibangun dengan asas yang kukuh. Pendidikan harus berfungsi untuk menghuraikan segala persoalan diri manusia. Dengan pengajaran, pembelajran melalui pendidikan manusia dapat mengenali dan memahami dirinya dan dalam kehidupan sosial masyarakat. Untuk itu hendaklah memahami tentang nilai-nilai dalam masyarakat baik merujuk kepada pandangan Islam, Barat, mahupun Timur.

B.   DEFENISI PENGAJARAN, PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN
Kata pengajaran sendiri dalam bahasa Arab disebut dengan ta’lim yang merupakan derivasi dari kata ‘allama yang berarti mengajar (Munawwir, 1984: 1036). Pengajaran merupakan totalitas aktiviti belajar mengajar yang diawali dengan perencanaan dan diakhiri dengan evaluasi, yang kemudian diteruskan dengan follow up (tindak lanjut). Secara lebih jelas dapat dikatakan, pengajaran adalah aktiviti yang mencakup seluruh aktiviti yang secara langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan khusus pengajaran (menentukan entry-behavior peserta didik, menyusun rencana pelajaran, memberikan informasi, bertanya, menilai, dan seterusnya) (Rohani, 2004: 68).
Konsep pembelajaran boleh dijelaskan bahawa pembelajaran adalah aktiviti yang membawa kepada perubahan, tetapi perubahan itu bukanlah perubahan seperti yang dibawa oleh proses kematangan atau proses biologi yang bersifat semula jadi. Dan tidak nyata matlamatnya. Pembelajaran mesti ada sesuatu matlamat yang nyata daripada pembelajaran yang dibawanya. Matlamat pembelajaran yang dimaksudkan ialah penguasaan apa yang dipelajari. (Abdurrahman Md Aroff dan Zakaria Kasa, 1987).
Nilai menurut Encylopedia Britania adalah suatu penetapan objek yang menyangkut sesuatu jenis apresiasi atau minat (Sidi Gazalba : 1981). Nilai diertikan sebagai asumsi-asumsi yang abstrak dan sering tidak disedari tentang hal-hall yang benar dan hal-hal yang penting. Nilai juga diertikan sebagai konsepsi-konsepsi abstrak yang ada dalam diri manusia atau masyarakat, mengenai hal-hal yang dianggap baik, benar dan hal-hal yang dianggap buruk atau salah.[1]

C.   KONSEP PENGAJARAN, PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN BARAT
1.    Konsep John Dewey
1.1.        Pendidikan
John Dewey mengatakan bahawa pendidikan adalah kerja mengatur pengetahuan untuk menolong dan mengeluarkan serta menambahkan lagi pengetahuan yang ada agar hidup dengan lebih selamat lagi.[2] Dalam bukunya Democracy and Education yang merumuskan falsafah adalah suatu teori umum yang berkaitan dengan pendidikan. Pendidikan adalah proses mengubah anak yang tak berdaya dan tak berpengetahuan menjadi seorang individu yang berpengetahuan, sedar akan kekuatan budinya dan mampu menambah pengetahuan umat manusia.[3]
Semua dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia mengatakan bahwa ide pokok demokratis adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perlunya partisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur hidup bersama. Ia menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis dalam bentuk aturan sosial politik.[4] 
Menurut progresivisme, proses pendidikan mempunyai dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis. Dari segi sosiologis, pendidik mesti dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpengaruh di Amerika, iaitu psikologi dari aliran behaviorisme  dan pragmatisme.[5]  Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui kemana tenaga-tenaga itu harus dibimbing. John Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga pendidikan itu harus diabdikan pada kehidupan sosial,  jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah proses sosial dan sekolah adalah suatu lembaga sosial.[6]
John Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahawa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan pembentukan kemampuan inteligensi. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama dan membangun kembali yang baru.[7]
1.2.        Pengajaran
Pengajaran Dewey lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, dari pada mengisinya secara sarat dengan formula-formula secara sarat teoritis yang tertib.[8] Pendidikan  harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang merupakan kontiunitas dari refleksi atas pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak-anak didik. Ia juga mengkritik sistem kurikulum yang hanya ditentukan dari atas tanpa memperhatikan masukan-masukan dari bawah.
John Dewey secara realistis mengkritik praktek pengajaran yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan peranan para siswa dalam sistem pendidikan. Penyiksaan fisik dan indoktrinasi dalam bentuk penerapan doktrin-doktrin menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pengajaran. Dewey mengadakan penelitiannya mengenai pengajaran di sekolah-sekolah dan mencuba menerapkan teori pendidikannya dalam praktek di sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai gantinya, ia menekankan pentingnya kreativiti dan keterlibatan siswa dalam diskusi dan pemecahan masalah.[9]
Prinsip-prinsip pendidikan dalam pengajaran yang mewakili pendidikan progresif iaitu :
a)    Kanak-kanak mesti bebas untuk membesar dan berkembang.
b)    Minat yang digalakkan dari pengalaman langsung adalah ransangan yang paling baik untuk pembelajaran.
c)    Guru mesti menjadi seorang penyelidik dan pemimpin aktiviti pembelajaran.
d)    Kerjasama yang erat mesti diwujudkan antara sekolah dan rumah.
e)    Sekolah progresif mesti dijadikan makmal untuk ekperimen dan perubahan pendagogi.[10]
1.3.        Penilaian Moral
a.    Tindakan dinilai baik
Dalam teori nilai moral tradisional, suatu tindakan dinilai baik jika dapat mencapai tujuan akhir sebagai kebaikan tertinggi yang dicita-citakan. Bagi Dewey konsep tersebut terlalu menyibukkan diri dan kaku dengan tujuan akhir untuk menentukan benar salah, baik buruk perilaku manusia. Dewey mengusulkan sebagai tujuan-tujuan yang direncanakan untuknya, (ends in view). Tujuan itu ditentukan pada setiap sesuatu yang dilakukan. Menurut Dewey nialai suatu tujuan ditentukan oleh sarana yang digunakan untuk mencapainya. Ia mengkritik konsep tradisional yang menilai baik buruknya perilaku manusia berdasar tujuan akhir yang sudah tetap dan baku. Cenderung membuat orang kritis dan kreatif untuk melihat kemungkinan adanya tujuan dan nilai baru. Gagasan tentang ends in view didasarkan atas paham yang ia sebut ”naturalisme empiris”. Dalam pandangan ini manusia digambarkan sebagai organisme yang berinteraksi dengan alam yang terus berubah. Dapat disimpulkan bahawa :
1)    Baik buruknya tindakan secara moral tidak dapat diputuskan secara apriori lepas dari kongkrit yang melingkupi tindakan itu.
2)    Baik buruknya tindakan perlu dinilai dan diputuskan berdasarkan akibat-akibat tindakan itu sebagaimana diprojeksikan dalam ends in view, dlam permasalahan yang dihadapi.
3)    Baik buruknya tindakan tergantung apakah tindakan itu bisa mencapai ends in view dalam moral atau tidak.
b.    Perbuatan baik bererti harus menunjang proses perwujudan diri manusia sebagai manusia.
Suatu tindakan dinilai menunjang perkembangan dan perwujudan diri kalau tindakan itu mewujudkan ends in view. Tindakan yang dimaksud adalah tindakan yang dipikirkan dengan matang serta memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan akibatnya bagi diri kendiri dan orang lain. Dewey berpendapat bahawa  setiap orang perlu memupuk rasa tertarik pada hal-hal yang menunjang kesejahteraan umum sebagai hal yang diinginkan untuk perkembangan dan perwujudan dirinya sebagai manusia dan tidak melakukan sesuatu untuk orang lain melulu karena kewajiban.[11]

D.   KONSEP PENGAJARAN, PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN TIMUR
1.    Konsep Pendidikan Konfusius
1.1.        Pengajaran
Ketika berumur kira-kira 30 tahun, Konfusius telah menjadi sarjana yang tersohor dan mula membuka sekolahnya sendiri untuk mempromosi ajarannya. Konfusius telah melawat ke beberapa banyak negeri untuk mempromosikan teori politiknya. Namun, teorinya itu tidak mendapat perhatian raja-raja di kebanyakan negeri pada masa itu. Pada tahun 484 SM, beliau kembali ke negeri Lu dan menumpukan usahanya kepada hal-hal kebudayaan dan pendidikan serta merumuskan buku-buku klasik yang telah dihasilkan lebih awal.[12]
Konfusius berpendapat bahawa pendidikan merupakan persediaan dan asas bagi membentuk sebuah masyarakat yang teratur dan aman. Pendidikan inilah yang mengajarkan konsep-konsep asas yang disanjung dalam menghasilkan hubungan sosial yang terpuji dan diterima oleh semua lapisan masyarakat. Untuk menjadi seorang Chun Tze seseorang itu mesti mempelajari nilai murni melalui pendidikan. Dalam konteks pendidikan moral konfusius menekankan peranan muzik dan sastera dalam mencapai perkembangan diri yang seimbang. Keadaan ini berbeza daripada pandangan Plato yang menganggap bahawa muzik dan sastera bukan sahaja melekakan, malah boleh menjelaskan kepribadian yang unggul khususnya di kalangan bakal-bakal Philosopher-King (Obeidellah, 1994).[13]
Dengan kepakarannya dalam bidang falsafah, politik dan pendidikan yang begitu tersohor pada zamannya, aliran ajaran Konfusius yang ditubuhkannya berdasarkan ‘kebajikan’ dan ‘budi bahasa’ itu telah membawa pengaruh yang amat besar kepada masyarakat China dalam masa 2000 tahun selepasnya.[14]
1.2.        Pembelajaran
Konfusius menekankan dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam pendidikannya. Pengaruh ajaran Konfusius dalam sistem pendidikan di China adalah digunakannya ajaran-ajaran Konfusius tersebut dalam kurikulum pendidikan. Hal ini berkaitan dengan tuntutan bahawa untuk menjadi seorang birokrat kerajaan maka diharuskan Berjaya dalam ujian klasikal Confucian. Namun demikian Konfusius mengakui bahawa keberhasilan usaha manusia tidak terlepas dari Ming, keputusan alam ketuhanan. Usaha manusia tidak terlepas dari peranan Tuhan.[15] Konfusius sebagai seorang guru memandang pendidikan mempunyai peran penting dalam perkembangan kebudayaan.
Bahkan dalam sepak terjang kehidupannya pendidikan ia jadikan strategi kebudayaan. Kebudayaan dimanapun berada selalu dalam keadaan berubah dan terkena pengaruh dari kebudayaan luar. Sedangkan masa sekarang, bagi Konfusius tergambar dalam pendidikan sebagai strategi kebudayaan. Dalam bidang pendidikan ia merasa bahawa fungsi utamanya memberi tafsiran terhadap warisan masa lampau, juga memberikan tafsiran baru terhadapnya yang didasarkan atas konsepsi-konsepsi moral.[16]
1.3.        Nilai Moral
Falsafah konfusius dikenali sebagai Ju Chia atau dikenali sebagai konfusianisme. Dalam Ju Chia beliau menitikberatkan aspek nilai-nilai murni atau kemanusiaan serta peraturan social. Konfusius berpendapat seseorang insan mestilah memiliki satu garis panduan tentang tingkah laku yang berdasarkan nilai-nilai abstrak untuk menjadi manusia yang super (Chun Tze) iaitu ‘Peribadi Agung’. Beliau telah menamakan nilai-nilai abstrak ini sebagai Wu Chang (Five Virtues) iaitu sifat-sifat murni dari manusia  atau etika manusia yang terdiri daripada Li (Principle) atau keserasian, Ren Jen (Humanity) atau perikemanusiaan, Xin (Faithfulness) atau Kebolehpercayaan, atau Keikhlasan, Yi (Honesty) atau Amanah atau keadilan dan Zhi (Wisdom) atau kebijaksanaan. Jelas menunjukkan beliau amat menekankan nilai-nilai akhlak atau moral yang mulia (Hoobler, 1993).

2.    Konsep Pendidikan Al-Ghazali
1.1.        Pembelajaran
Perhatian Al-Ghazali dari aspek pendidikan sangat besar terhadap ilmu dan mengajar, kepercayaannya yang kuat bahwa mengajar yang benar adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan Al-Ghazali menekankan tentang beberapa aspek iaitu : aspek religious sofistis, moralitas, urusan dunia iaitu aspek budaya dan bekal hidup, dan aspek aktualitas manfaat. Dalam proses pendidikan Al-Ghazali membahagi ilmu kepada dua : pertama, ilmu yang fardhu ain iaitu ilmu yang wajib diketahui oleh setiap orang Islam. Ilmu-ilmu agama dengan segala macamnya. Kedua, ilmu yang fardhu kifayah iaitu setiap ilmu yang dibutuhkan oleh urusan dunia seperti kedokteran, ilmu hitung, pertanian, politik dan lain-lain.[17]
Al-Ghazali membahagi ilmu-ilmu dan menyusun urutannya menurut keperluan dan kepentingannya bagi pelajar dan sesuai dengan perbezaan nilai-nilai yang diletakkannya. Beliau meluruskan ilmu-ilmu itu sesuai dengan cacat-cacat yang nyata, yang dapat dterangkan dibawah ini :
Pertama, sebesar manfaat ilmu-ilmu itu untuk manusia dalam hidupnya menurut agama dan dalam dunianya yang terakhir, iaitu sebab kesucian dirinya, kebaikan akhlaknya, dan kedekatannya kepada Allah, serta kesiapan bagi dunia yang kekal. Kedua, sebesar manfaatnya untuk manusia sebab keperluannya dan pelayanannya untuk ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu bahasa dan ilmu nahwu. Ketiga, sebesar manfaatnya untuk manusia dalam hidupnya di dunia, seperti kedokteran, ilmu hitung, dan bermacam-macam ilmu perindustrian. Keempat, sebesar manfaatnya sebab kebudayaannya dan mengambil kesenangan dengan ilmu-ilmu itu dan peranannya dalam kehidupan sosialnya, seperti syiir, sejarah, politik, dan akhlak.[18]
Jelaslah bahawa metode pembelajaran Al-Ghazali terdapat dua kecenderungan :
1.    Kecenderungan religious sofistis, yang membuat beliau meletakkan ilmu-ilmu agama di atas setiap pemikirannya dan melihatnya sebagai alat untuk menyucikan jiwa dan membersihkannya dari kotoran duniawi.
2.    Kecenderungan aktualitas manfaat yang tampak dalam tulisan-tulisannya walaupun ia seorang sufi dan tidak suka kepada duniawi, Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilaiannya terhadap ilmu-ilmu menurut kegunaannya untuk manusia, baik dunia maupun akhirat.[19]
1.2.        Pengajaran
Al-Ghazali amat menekankan terhadap pentingnya persiapan bahan pengajaran oleh guru. Ia juga menekankan bahwa para guru harus mengamalkan ajaran-ajaran yang diajarkannya. Point lainnya yang berkenaan dengan pentingnya seorang guru agar menarik perhatian dalam mengembangkan dan mengajarkan pelajaran dengan cara bekerja sama dengan dengan para siswa yang dengan cara demikian, para guru telah memberikan fasilitas dan kesempatan kepada para siswa untuk memahami bahan pelajaran yang diajarkan.
Al-Ghazali selanjutnya mengingatkan para guru agar menghindari penyajian bahan pelajaran yang rumit dan sulit terhadap para siswa permulaan, dan meminta para guru agar memulai pelajaran dari yang paling mudah dan sederhana menuju kemata pelajaran yang sukar dan kompleks.[20]
Al-Ghazali selanjutnya mengingatkan para guru supaya memperhatikan tingkat daya pikiran anak, menerangkan pelajaran dengan cara yang sejelas-jelasnya, dan mengajarkan ilmu pengetahuan dengan cara berangsur-angsur.[21]
Al-Ghazali berpendapat bahawa guru yang sempurna akalnya, terpuji akhlaknya, yang layak diberi amanah mengajar anak-anak pada umumnya maka guru mesti memilik sifat-sifat yang diperlukan oleh jabatanya itu :
1.    Kasih sayang dan menyayangi, beliau menganjurkan hendaklah guru itu menempati kedudukan ayah bagi murid, bahkan beliau berpendapat bahawa hak yang dimiliki guru atas muridnya lebih besar daripada hak yang dimiliki orang tua atas anaknya.
2.    Guru tidak menuntut upah, tidak mengharapkan pujian, terima kasih, atau balas jasa dari murid pada pertemuannya dalam mengajar.
3.    Guru menjadi penunjuk yang jujur dan sebagai teman bagi muridnya.
4.    Guru menjauhi kekejaman dalam melatih perangai-perangai murid, ertinya menegur murid yang salah dengan cara yang bijak.
5.    Memberi semangat murid untuk memperoleh ilmu dari guru yang lain dengan tidak membatasi atau fanatik kepada seorang guru tanpa menghiraukan guru yang lain.
6.    Guru hendaklah ia tidak melahirkan kelemahan dan tidak memberikan ilmu kepada murid tanpa perhitungan, baik muted itu patut menerima atau tidak.
7.    Guru memberikan ilmu kepada muridnya yang jelas dan mudah yang sesuai dengan umurnya.
8.    Guru berpegang kepada prinsip dan berusaha merealisirnya mestilah menjadi sifat-sifat guru teladan.[22]
1.3.        Pandangan Tentang Nilai
Selanjutnya al-Ghazali menggunakan pendekatan aksiologis dalam menilai.
1.    Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di dunia maupun diakhirat. Misalnya ilmu sihir, nujum dan ilmu pedukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa madharat dan meragukan terhadap kebenaran adanya Tuhan oleh karena itu ilmu ini harus dijauhi.
2.    Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit. Misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Ilmu ini bila dipelajari akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci bersih serta dapat mendekatkan kepada Allah.
3.    Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu ini dapat membawa kepada kegoncangan iman, seperti ilmu filsafat.[23]
Al-Ghazali mendasarkan pemikirannya bahwa kurikulum pendidikan harus disusun dan selanjutnya disampaikan kepada murid sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan psikisnya. Pentahapan dalam kurikulum yang dirumuskan al-Ghazali ini sesuai dengan proses pendidikan anak yang diajarkan oleh Nabi SAW.
a.    Usia 00-06 th. adalah masa asuhan orang tua.
b.    Usia 06-09 th. Adalah masa dimulainya pendidikan anak secara formal.
c.    Usia 09-13 th. Adalah masa pendidikan kesusilaan dan latihan kemandirian.
d.    Usia 13-16 th. Adalah masa evaluasi terhadap pendidikan yang telah berjalan sejak pembiasaan, dimulainya pendidikan formal, pendidikan kesusilaan dan pendidikan latihan kemandirian.
e.    Usia 16 th. Dan seterusnya , adalah pendidikan kedewasaan.

2.     PERBANDINGAN KONSEP BARAT DAN TIMUR
1.    Persamaaan
2.    perbezaan
3.     ANALISIS KRITIS
4.     RUMUSAN
5.     RUJUKAN


Rujukan :
1.    Abdul Fatah Hasan (2001), Pengenalan Falsafah Pendidikan, PTS Publications & Distributor Sdn. Bhd. Pahang.
2.    Fathiyah Hasan Sulaiman, (1986), Al-Ghazali dan Plato dalam aspek pendidikan, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura.
3.    Frederick Mayer, (1951), A History of Modern Philosophy, American Book Company, New York.
4.    Hasbullah. Dasar Ilmu Pendidikan. 2005. Jakarta. Penerbit: PT RajaGrasindo Persada.
5.    Ihya Ulum al-Din Jilid I
6.    I. Djumhur dan H. Danasuparta, (1974), Sejarah Prndidikan, CV. Ilmu, Bandung.
7.    Ohoitimur, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer, (Traktat Kuliah SFT-SP).
8.    Syarifah Alwiah Alsagoff, (1984), Falsafah Pendidikan, Heinemann Asia, Kuala Lumpur.
9.    Y. B. Suparlan, (1984), Aliran-aliran Baru Dalam Pendidikan, Andi Offset, Yogyakarta.
10. Zamroni, (2001), Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society, Bigraf Publishing, Yogyakarta.


[1]Abdul Khodir, (2007), Filsafat Pendidikan Islam, Gama Media Offset, Yogyakarta.
[2]Abdul Fatah Hasan (2001), Pengenalan Falsafah Pendidikan, PTS Publications & Distributor Sdn. Bhd. Pahang. p. 77.
[3] Ibid…, p. 80
[4]Zamroni, (2001), Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society, Bigraf Publishing, Yogyakarta, p. 30-31.
[5] Y. B. Suparlan, (1984), Aliran-aliran Baru Dalam Pendidikan, Andi Offset, Yogyakarta, p. 82-84
[6] I. Djumhur dan H. Danasuparta, (1974), Sejarah Prndidikan, CV. Ilmu, Bandung, p. 88-90.
[7]  Ohoitimur, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer, (Traktat Kuliah SFT-SP), p. 79.
[8]  Ibid…, p. 79
[9] Frederick Mayer, (1951), A History of Modern Philosophy, American Book Company, New York, p. 535.
[10] Syarifah Alwiah Alsagoff, (1984), Falsafah Pendidikan, Heinemann Asia, Kuala Lumpur.
p. 37
[12] Budisutrisna, (1998), makalah seminar: Historisitas dalam Pandangan Confucius, Fak. Filsafat UGM, Yogyakarta, p. 6.
[13] Wan Ramli Wan Muhammad Azmi Aziz, (2002), Tokoh Falsafah Dunia, Lohprint Sdn. Bhd. Selangor, p. 7.
[14] Ibid..., p. 6.
[15]  Ibid..., p. 27.
[16]  Fung Yu Lan, (1990), A Short History of Chinese Philosophy, Alih bahasa Soejono Soemargono, Liberty Yogyakarta, p. 235.
[17] Ihya Ulum al-Din Jilid I p. 14  
[18] Fathiyah Hasan Sulaiman, (1986), Al-Ghazali Dan Plato : Suatu Studi Dalam Aspek Pendidikan, Bina Ilmu, Surabaya. p. 27
[19]Ibid…, p. 28-29.
[20]Zianuddin Alavi,  (2003), Pemikiran Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan, Angkasa, Bandung. p. 67.
[21]Zianuddin dkk. (1991), Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghazali, Bumi Aksara, Jakarta. p. 78-79.
[22] Ihya Ulum al-Din, Jilid I p. 49.
[23] Abudin Nata, (1997), Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacanan Ilmu, Jakarta. p. 166

No comments:

Post a Comment