judul baru

Sunday 11 December 2011

FILSAFAT ISLAM

KOMFUSIUS


By: Arifin Jamil

Biografi Konfusius
Abtract
Tulisan ini menganalisis tentang persoalan epistemologi dari pada dua tokoh falsafah barat dan timur, Konfusius dan Rene Descartes (1596-1650). Comfucius adalah tokoh pemikir besar yang telah banyak memberi sumbangan pemikirannya dalam kemajuan ilmu didunia timur sejak zaman berzaman hingga kini. Sedangkan Rene Descartes adalah tokoh pemikir besar yang juga sangat terpengaruh dalam dunia pendidikan barat. Pemikiran mereka masih lagi menjadi sumber rujukan untuk menghadapi cabaran zaman kontemporari. Pelbagai idea besar ini tidak pernah terhenti dari pada terus berkembang.
 Permasalahan yang dikaji menyangkut dengan masalah falsafah pendidikan, dan matlamat serta metodologi pendidikan, dan perubahan yang dibawa oleh Konfusius dan Rene Descartes yang berkesan sebagai alternatif memperlengkap sistem pendidikan moden yang lebih menekankan teknologi maklumat, dan komunikasi.
Para pelajar kini menghadapi krisis spiritual, dan nilai-nilai moral yang kurang menyenangkan banyak pihak dalam masyarakat. Kekuatan dalaman atau spiritual mesti diutamakan untuk mencapai tahap kecemerlangan para pelajar yang menuntut ilmu. Melaluia sejarahlah kita boleh mengadopsi nilai-nilai rohaniah yang dapat memberikan impact kepada pelajar.

A.  PENGENALAN

Setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita kadang hanya lewat dan mengalir begitu saja, tanpa ada upaya untuk melakukan suatu langkah reflektif sehingga peristiwa tersebut menjadi tidak bermakna. Seharusnya, manusia dapat berupaya untuk memberikan atau menerapkan suatu makna kepada sejarah, hanya dengan demikian perbuatan manusia dapat disusun secara kait-mengkait dan dapat diarahkan ke hari depan (Misnal Munir, 1997; 126).
Sedang bagi Sartono Kartodirdjo (1900; 204-205) sejarah mempunyai fungsionalitas, artinya sejarah tidak hanya mempunyai makna dokumenter, tetapi juga mengandung makna apresiasif, yaitu mewujudkan kesadaran kolektif. Pengalaman sebagai pengendapan hasil proses kebudayaan berupa suatu subjektifitas hasil internalisasi subjek, sedangkan yang berupa objektifitas merupakan hasil eksternalisasi. Objektifitas terus-menerus akan menghasilkan pengalaman kolektif.

Kees Bertens dalam bukunya “Panorama Filsafat Barat Modern (1987; 193-198) ” menyatakan sekurang-kurangnya ada empat aspek yang terdapat dalam sejarah. Pertama, sejarah manusia hanya dapat berlangsung dalam perkembangan yang harmonis antara unsur spiritualitas dan materialitas. Kedua, sejarah dapat berlanjut jika manusia bebas dalam merealisasikan diri. Ketiga, sejarah selalu berkaitan dengan waktu atau temporalitas yang selalu kontinu. Keempat, sejarah hanya dapat terjadi jika manusia berkarya bersama dengan manusia lain.

Dalam tulisan ini penulis ingin mencoba menggali tema sejarah filsafat pendidikan Konfusius dan Rene Descartes sebagai perbandingan dalam menerapkan konsep pendidikan. Berbicara mengenai Konfusius, dia termasuk orang yang menginginkan agar akal budi mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam kehidupan sosial. Dalam kerangka pemahaman kesejarahan ia pun mempelajari sejarah dan menginterpretasikannya untuk menemukan hukum-hukum perkembangannya. Dalam kenyataannya ia tetap melestarikan apa yang dipandang baik dalam kebudayaan masa lampau, tapi juga menciptakan suatu kebudayan baru yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi. Pemikiran Konfusius lebih banyak membahas manusia sebagai individu sekaligus sebagai makhluk social. Kehidupan Konfusius sendiri sudah pasti merupakan contoh yang baik bagi ajarannya. Ia mempunyai obsesi besar untuk mengubah dunia (Fung Yu Lan, 1990: 57). Begitu juga dengan Rene Descartes, dia adalah filosof, ilmuwan, matematikus Perancis yang tersohor pada zaman mudanya. Sebagai seorang insan yang suka menyendiri, Descartes banyak merahasiakan butir kehidupan peribadinya. Malah beliau juga telah mencoba menyembunyikan tarkh lahirnya supaya ahli astronomi tidak dapat membuat sembarang spekulasi tentang dirinya (Azmi Aziz, 2002).


A.  1. Mengenal Konfusius

Falsafah Komfusianisme atau Confucianism diasaskan oleh Konfusius. Nama yang sebenar adalah Kong Qiu tetapi lebih dikenali sebagai Kong Fuzi atau Master Kong atau Kongzi. Beliau dilahirkan di daerah Lu (kini lebih dikenal daerah Shantung) pada tahun 551 S.M, dan meninggal dunia pada tahun 479 S.M (Cheu Hock-Tong, 2000). Konfusius berasal daripada golongan bangsawan. Bapaknya, Tse Shu Le pernah bertugas sebagai tentara dan meninggal dunia sebelum konfusius dilahirkan. Selepas kematian bapanya, kehidupan konfusius bersama ibunya semakin sukar dalam menempuh pelbagai cobaan yang mana mematangkan dirinya (Hsu, Leonardo Shahlien, 1975)
Konfusius menerima pendidikan yang baik sejak masih kecil. Beliau juga pernah menjadi pegawai peringkat rendah sebagai polisi di mahkamah negeri Lu. Tidak lama kemudian beliau berhenti dan menempukan sepenuh masa sebagai maha guru serta pentadbir yang menyokong falsafah duniawi (Azmi Aziz, 2002). Namun, ketika berumur kira-kira 30 tahun, beliau telah menjadi sarjana yang tersohor dan mula membuka sekolahnya sendiri untuk mempromosi ajarannya. Sejak kira-kira 500 tahun sebelum Masehi, Konfusius telah melawat ke beberapa banyak negeri untuk mempromosikan teori politiknya. Namun, teorinya itu tidak mendapat perhatian raja-raja di kebanyakan negeri pada masa itu. Jadi, pada 484 SM, beliau kembali ke negeri Lu dan menumpukan usahanya kepada hal-hal kebudayaan dan pendidikan serta merumuskan buku-buku klasik yang telah dihasilkan lebih awal. Konfusius meninggal dunia pada tahun 479 sebelum Masehi (Budisutrisna, 1998)
Dengan kepakarannya dalam bidang falsafah, politik dan pendidikan yang begitu tersohor pada zamannya, aliran ajaran Konfusius yang ditubuhkannya berdasarkan "kebajikan" dan "budi bahasa" itu telah membawa pengaruh yang amat besar kepada masyarakat China dalam masa 2000 tahun selepasnya (Budisutrisna, 1998)
Dalam bidang politik, Konfusius menentang pentadbiran yang kejam dan berharap raja tidak dapat menyayangi rakyatnya. Beliau berpendapat bahawa kebajikan dapat memandu tingkah laku rakyat dan meningkatkan moral mereka. Inilah asas untuk mengekalkan kestabilan masyarakat dalam jangka panjang. Raja perlu menjadi teladan moral dari pelbagai segi kepada rakyatnya.
Dalam bidang pendidikan, Konfusius juga mengutamakan pendidikan moral dan juga menggabungkan teori politiknya ke dalam teori pendidikan. Beliau berpendapat tujuan pendidikan adalah untuk memandu pelajar menjadi orang yang mementingkan kebajikan.
Di samping itu, Konfusius juga merumuskan banyak buku klasik. Setelah beliau meninggalkan dunia, pelajarnya merumuskan perlakuannya, manakala catatan tentang kata-katanya menjadi buku klasik ajaran Konfusius, iaitu "Lun Yu", yang membawa maksud catatan kata-katan Konfusius.

A.  2 Konsep pendidikan Konfusius

Konfusius merupakan seorang pemikir yang sangat terkemuka di dunia timur dan sangat terkenal sebagai ahli falsafah. Salah satu hal yang mendapat perhatian dari Konfusius adalah bidang pendidikan. penulisan ini juga bertujuan untuk mempelajari secara mendalam ajaran Konfusius tentang belajar, mengajar dan pengaruh ajaran Konfusius tersebut dalam sistem pendidikan di China kuno. Konsep pendidikan yang dipraktik Konfusius adalah konsep falsafah yang terdiri dari Dengan menanamkan nilai-nilai positif, dan nilai-nilai murni, maka seseorang dapat berperanan, dan bertindak dengan lebih rasional. Dari hasil analisa penulis menunjukkan bahawa menurut Konfusius pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam perkembangan kehidupan manusia. Pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia yang susila, cerdas, bertanggung jawab kepada bangsa dan negara, serta untuk mempersiapkan kader pemimpin bangsa dan negara. Konsep pengajaran yang digunakan Konfusius antara lain konsep diskusi, dialog, dan pemecahan masalah. Konfusius menekankan dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam pendidikannya. Pengaruh ajaran Konfusius dalam sistem pendidikan di China adalah digunakannya ajaran-ajaran Konfusius tersebut dalam kurikulum pendidikan. Hal ini berkaitan dengan tuntutan bahawa untuk menjadi seorang birokrat kerajaan maka diharuskan Berjaya dalam ujian klasikal Confucian. Namun demikian Konfusius mengakui bahwa keberhasilan usaha manusia tidak terlepas dari Ming, keputusan alam ketuhanan. Usaha manusia tidak terlepas dari peranan Tuhan. (Budisutrisna, 1998: 27-28). Konfusius sebagai seorang guru memandang pendidikan mempunyai peran
penting dalam perkembangan kebudayaan. Bahkan dalam sepak terjang
kehidupannya pendidikan ia jadikan strategi kebudayaan. Kebudayaan dimanapun
berada selalu dalam keadaan berubah dan terkena pengaruh dari kebudayaan luar. Menurut Konfusius esensi kebudayaan adalah Jen. Sedangkan masa sekarang, bagi Konfusius tergambar dalam pendidikan sebagai strategi kebudayaan. Dalam bidang pendidikan ia merasa bahwa fungsi utamanya memberi tafsiran terhadap warisan masa lampau, juga memberikan tafsiran baru terhadapanya yang didasarkan atas konsepsi-konsepsi moral (Fung Yu Lan, 1990, 51). Bagi Konfusius untuk merencanakan dan merekayasa masa depan peranan pendidikan lagi amat penting. Dan manusia dalam perjalanan waktu yang kontinu seharusnya sabar dan belajar
terus-menerus. Demikian pandangan Konfusius dalam konsep pendidikan.



B.   Mengenal Rene Descartes

Rene Descartes dilahirkan pada 31 Mac 1596 di La Haye, sebuah pecan kecil di Perancis. Tarikh ini diperoleh melalui tindakan sambil lewa seorang pelukis yang mencatat maklumat tersebut pada bagian bawah sebuah potret Descartes (Azmi Aziz, 2002). Ibunya meninggal dunia sebaik sahaja beliau dilahirkan. Seterusnya beliau dibesarkan diladang neneknya yang berdekatan dengan La Haye. Bapanya seorang peguam yang kaya dan bekerja dibrittany. Waktu mudanya dia sekolah Yesuit, College La Fleche. Sebagai seorang pelajar, Decartes menghayati doktrin roh bersama-sama perkara lain yang diajarkan kepadanya. Dengan itu beliau menjadi pelajar yang terbaik di sekolahnya. Beliau menjadi pelajar yang terbaik di sebuah sekolah yang terbaik di negaranya (Azmi Aziz, 2002). Begitu umur dua puluh dia dapat gelar ahli hukum dari Universitas Poitiers walau tidak pernah mempraktekkan ilmunya samasekali. Meskipun Descartes peroleh pendidikan baik, tetapi dia yakin betul tak ada ilmu apa pun yang bisa dipercaya tanpa matematik. Karena itu, bukannya dia meneruskan pendidikan formalnya, melainkan ambil keputusan kelana keliling Eropa dan melihat dunia dengan mata kepala sendiri. Berkat dasarnya berasal dari keluarga berada, mungkinlah dia mengembara kian kemari dengan leluasa dan longgar, tak ada persoalan duit. Dari tahun 1616 hingga 1628, Descartes betul-betul melompat ke sana kemari, dari satu negeri ke negeri lain. Dia masuk tiga dinas ketentaraan yang berbeza-beza (Belanda, Bavaria dan Honggaria), walaupun tampaknya dia tidak pernah ikut bertempur samasekali. Dikunjungi pula Italia, Polandia, Denmark dan negeri-negeri lainnya. Dalam tahun-tahun ini, dia menghimpun apa saja yang dianggapnya merupakan metode umum untuk menemukan kebenaran. Ketika umurnya tiga puluh dua tahun, Descartes memutuskan menggunakan metodenya dalam suatu percobaan membangun gambaran dunia yang sesungguhnya. Dia lantas menetap di Negeri Belanda dan tinggal di sana selama tidak kurang dari dua puluh satu tahun. Dipilihnya Negeri Belanda karena negeri itu dianggapnya menyediakan kebebasan intelektual yang lebih besar ketimbang lain-lain negeri, dan karena dia ingin menjauhkan diri dari Paris yang kehidupan sosialnya tidak memberikan ketenangan cukup.

Sekitar tahun 1629 beliau meulis sebuah buku Rules for the Direction of the Mind yang memberikan garis-garis besar metodenya. Tetapi, buku ini tidak komplit dan tampaknya ia tidak berniat menerbitkannya. Diterbitkan untuk pertama kalinya lebih dari lima puluh tahun sesudah Descartes tiada (Michael H. Hart, 1978).

B.1 konsep pendidikan Rene Descartes
Pengaruh Descartes terhadap perkembangan intelektual di eropah melalui aliran pemikiran yang dikemukakan oleh beliau iaitu rasionalisme, konsep mekanikal tentang alam dan dualism jasad akal.

tokoh filsafat barat

by: arifin jamil




PERBANDINGAN KONSEP PENGAJARAN, PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN BARAT DAN TIMUR

A.   PENGENALAN
Pendidikan dan kehidupan berkait rapat dengan harmoni dalam menentukan mutu kehidupan manusia supaya pendidikan berupaya melahirkan bangsa yang kuat dan mulia. Pendidikan perlu dibangun dengan asas yang kukuh. Pendidikan harus berfungsi untuk menghuraikan segala persoalan diri manusia. Dengan pengajaran, pembelajran melalui pendidikan manusia dapat mengenali dan memahami dirinya dan dalam kehidupan sosial masyarakat. Untuk itu hendaklah memahami tentang nilai-nilai dalam masyarakat baik merujuk kepada pandangan Islam, Barat, mahupun Timur.

B.   DEFENISI PENGAJARAN, PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN
Kata pengajaran sendiri dalam bahasa Arab disebut dengan ta’lim yang merupakan derivasi dari kata ‘allama yang berarti mengajar (Munawwir, 1984: 1036). Pengajaran merupakan totalitas aktiviti belajar mengajar yang diawali dengan perencanaan dan diakhiri dengan evaluasi, yang kemudian diteruskan dengan follow up (tindak lanjut). Secara lebih jelas dapat dikatakan, pengajaran adalah aktiviti yang mencakup seluruh aktiviti yang secara langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan khusus pengajaran (menentukan entry-behavior peserta didik, menyusun rencana pelajaran, memberikan informasi, bertanya, menilai, dan seterusnya) (Rohani, 2004: 68).
Konsep pembelajaran boleh dijelaskan bahawa pembelajaran adalah aktiviti yang membawa kepada perubahan, tetapi perubahan itu bukanlah perubahan seperti yang dibawa oleh proses kematangan atau proses biologi yang bersifat semula jadi. Dan tidak nyata matlamatnya. Pembelajaran mesti ada sesuatu matlamat yang nyata daripada pembelajaran yang dibawanya. Matlamat pembelajaran yang dimaksudkan ialah penguasaan apa yang dipelajari. (Abdurrahman Md Aroff dan Zakaria Kasa, 1987).
Nilai menurut Encylopedia Britania adalah suatu penetapan objek yang menyangkut sesuatu jenis apresiasi atau minat (Sidi Gazalba : 1981). Nilai diertikan sebagai asumsi-asumsi yang abstrak dan sering tidak disedari tentang hal-hall yang benar dan hal-hal yang penting. Nilai juga diertikan sebagai konsepsi-konsepsi abstrak yang ada dalam diri manusia atau masyarakat, mengenai hal-hal yang dianggap baik, benar dan hal-hal yang dianggap buruk atau salah.[1]

C.   KONSEP PENGAJARAN, PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN BARAT
1.    Konsep John Dewey
1.1.        Pendidikan
John Dewey mengatakan bahawa pendidikan adalah kerja mengatur pengetahuan untuk menolong dan mengeluarkan serta menambahkan lagi pengetahuan yang ada agar hidup dengan lebih selamat lagi.[2] Dalam bukunya Democracy and Education yang merumuskan falsafah adalah suatu teori umum yang berkaitan dengan pendidikan. Pendidikan adalah proses mengubah anak yang tak berdaya dan tak berpengetahuan menjadi seorang individu yang berpengetahuan, sedar akan kekuatan budinya dan mampu menambah pengetahuan umat manusia.[3]
Semua dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia mengatakan bahwa ide pokok demokratis adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perlunya partisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur hidup bersama. Ia menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis dalam bentuk aturan sosial politik.[4] 
Menurut progresivisme, proses pendidikan mempunyai dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis. Dari segi sosiologis, pendidik mesti dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpengaruh di Amerika, iaitu psikologi dari aliran behaviorisme  dan pragmatisme.[5]  Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui kemana tenaga-tenaga itu harus dibimbing. John Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga pendidikan itu harus diabdikan pada kehidupan sosial,  jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah proses sosial dan sekolah adalah suatu lembaga sosial.[6]
John Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahawa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan pembentukan kemampuan inteligensi. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama dan membangun kembali yang baru.[7]
1.2.        Pengajaran
Pengajaran Dewey lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, dari pada mengisinya secara sarat dengan formula-formula secara sarat teoritis yang tertib.[8] Pendidikan  harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang merupakan kontiunitas dari refleksi atas pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak-anak didik. Ia juga mengkritik sistem kurikulum yang hanya ditentukan dari atas tanpa memperhatikan masukan-masukan dari bawah.
John Dewey secara realistis mengkritik praktek pengajaran yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan peranan para siswa dalam sistem pendidikan. Penyiksaan fisik dan indoktrinasi dalam bentuk penerapan doktrin-doktrin menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pengajaran. Dewey mengadakan penelitiannya mengenai pengajaran di sekolah-sekolah dan mencuba menerapkan teori pendidikannya dalam praktek di sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai gantinya, ia menekankan pentingnya kreativiti dan keterlibatan siswa dalam diskusi dan pemecahan masalah.[9]
Prinsip-prinsip pendidikan dalam pengajaran yang mewakili pendidikan progresif iaitu :
a)    Kanak-kanak mesti bebas untuk membesar dan berkembang.
b)    Minat yang digalakkan dari pengalaman langsung adalah ransangan yang paling baik untuk pembelajaran.
c)    Guru mesti menjadi seorang penyelidik dan pemimpin aktiviti pembelajaran.
d)    Kerjasama yang erat mesti diwujudkan antara sekolah dan rumah.
e)    Sekolah progresif mesti dijadikan makmal untuk ekperimen dan perubahan pendagogi.[10]
1.3.        Penilaian Moral
a.    Tindakan dinilai baik
Dalam teori nilai moral tradisional, suatu tindakan dinilai baik jika dapat mencapai tujuan akhir sebagai kebaikan tertinggi yang dicita-citakan. Bagi Dewey konsep tersebut terlalu menyibukkan diri dan kaku dengan tujuan akhir untuk menentukan benar salah, baik buruk perilaku manusia. Dewey mengusulkan sebagai tujuan-tujuan yang direncanakan untuknya, (ends in view). Tujuan itu ditentukan pada setiap sesuatu yang dilakukan. Menurut Dewey nialai suatu tujuan ditentukan oleh sarana yang digunakan untuk mencapainya. Ia mengkritik konsep tradisional yang menilai baik buruknya perilaku manusia berdasar tujuan akhir yang sudah tetap dan baku. Cenderung membuat orang kritis dan kreatif untuk melihat kemungkinan adanya tujuan dan nilai baru. Gagasan tentang ends in view didasarkan atas paham yang ia sebut ”naturalisme empiris”. Dalam pandangan ini manusia digambarkan sebagai organisme yang berinteraksi dengan alam yang terus berubah. Dapat disimpulkan bahawa :
1)    Baik buruknya tindakan secara moral tidak dapat diputuskan secara apriori lepas dari kongkrit yang melingkupi tindakan itu.
2)    Baik buruknya tindakan perlu dinilai dan diputuskan berdasarkan akibat-akibat tindakan itu sebagaimana diprojeksikan dalam ends in view, dlam permasalahan yang dihadapi.
3)    Baik buruknya tindakan tergantung apakah tindakan itu bisa mencapai ends in view dalam moral atau tidak.
b.    Perbuatan baik bererti harus menunjang proses perwujudan diri manusia sebagai manusia.
Suatu tindakan dinilai menunjang perkembangan dan perwujudan diri kalau tindakan itu mewujudkan ends in view. Tindakan yang dimaksud adalah tindakan yang dipikirkan dengan matang serta memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan akibatnya bagi diri kendiri dan orang lain. Dewey berpendapat bahawa  setiap orang perlu memupuk rasa tertarik pada hal-hal yang menunjang kesejahteraan umum sebagai hal yang diinginkan untuk perkembangan dan perwujudan dirinya sebagai manusia dan tidak melakukan sesuatu untuk orang lain melulu karena kewajiban.[11]

D.   KONSEP PENGAJARAN, PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN TIMUR
1.    Konsep Pendidikan Konfusius
1.1.        Pengajaran
Ketika berumur kira-kira 30 tahun, Konfusius telah menjadi sarjana yang tersohor dan mula membuka sekolahnya sendiri untuk mempromosi ajarannya. Konfusius telah melawat ke beberapa banyak negeri untuk mempromosikan teori politiknya. Namun, teorinya itu tidak mendapat perhatian raja-raja di kebanyakan negeri pada masa itu. Pada tahun 484 SM, beliau kembali ke negeri Lu dan menumpukan usahanya kepada hal-hal kebudayaan dan pendidikan serta merumuskan buku-buku klasik yang telah dihasilkan lebih awal.[12]
Konfusius berpendapat bahawa pendidikan merupakan persediaan dan asas bagi membentuk sebuah masyarakat yang teratur dan aman. Pendidikan inilah yang mengajarkan konsep-konsep asas yang disanjung dalam menghasilkan hubungan sosial yang terpuji dan diterima oleh semua lapisan masyarakat. Untuk menjadi seorang Chun Tze seseorang itu mesti mempelajari nilai murni melalui pendidikan. Dalam konteks pendidikan moral konfusius menekankan peranan muzik dan sastera dalam mencapai perkembangan diri yang seimbang. Keadaan ini berbeza daripada pandangan Plato yang menganggap bahawa muzik dan sastera bukan sahaja melekakan, malah boleh menjelaskan kepribadian yang unggul khususnya di kalangan bakal-bakal Philosopher-King (Obeidellah, 1994).[13]
Dengan kepakarannya dalam bidang falsafah, politik dan pendidikan yang begitu tersohor pada zamannya, aliran ajaran Konfusius yang ditubuhkannya berdasarkan ‘kebajikan’ dan ‘budi bahasa’ itu telah membawa pengaruh yang amat besar kepada masyarakat China dalam masa 2000 tahun selepasnya.[14]
1.2.        Pembelajaran
Konfusius menekankan dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam pendidikannya. Pengaruh ajaran Konfusius dalam sistem pendidikan di China adalah digunakannya ajaran-ajaran Konfusius tersebut dalam kurikulum pendidikan. Hal ini berkaitan dengan tuntutan bahawa untuk menjadi seorang birokrat kerajaan maka diharuskan Berjaya dalam ujian klasikal Confucian. Namun demikian Konfusius mengakui bahawa keberhasilan usaha manusia tidak terlepas dari Ming, keputusan alam ketuhanan. Usaha manusia tidak terlepas dari peranan Tuhan.[15] Konfusius sebagai seorang guru memandang pendidikan mempunyai peran penting dalam perkembangan kebudayaan.
Bahkan dalam sepak terjang kehidupannya pendidikan ia jadikan strategi kebudayaan. Kebudayaan dimanapun berada selalu dalam keadaan berubah dan terkena pengaruh dari kebudayaan luar. Sedangkan masa sekarang, bagi Konfusius tergambar dalam pendidikan sebagai strategi kebudayaan. Dalam bidang pendidikan ia merasa bahawa fungsi utamanya memberi tafsiran terhadap warisan masa lampau, juga memberikan tafsiran baru terhadapnya yang didasarkan atas konsepsi-konsepsi moral.[16]
1.3.        Nilai Moral
Falsafah konfusius dikenali sebagai Ju Chia atau dikenali sebagai konfusianisme. Dalam Ju Chia beliau menitikberatkan aspek nilai-nilai murni atau kemanusiaan serta peraturan social. Konfusius berpendapat seseorang insan mestilah memiliki satu garis panduan tentang tingkah laku yang berdasarkan nilai-nilai abstrak untuk menjadi manusia yang super (Chun Tze) iaitu ‘Peribadi Agung’. Beliau telah menamakan nilai-nilai abstrak ini sebagai Wu Chang (Five Virtues) iaitu sifat-sifat murni dari manusia  atau etika manusia yang terdiri daripada Li (Principle) atau keserasian, Ren Jen (Humanity) atau perikemanusiaan, Xin (Faithfulness) atau Kebolehpercayaan, atau Keikhlasan, Yi (Honesty) atau Amanah atau keadilan dan Zhi (Wisdom) atau kebijaksanaan. Jelas menunjukkan beliau amat menekankan nilai-nilai akhlak atau moral yang mulia (Hoobler, 1993).

2.    Konsep Pendidikan Al-Ghazali
1.1.        Pembelajaran
Perhatian Al-Ghazali dari aspek pendidikan sangat besar terhadap ilmu dan mengajar, kepercayaannya yang kuat bahwa mengajar yang benar adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan Al-Ghazali menekankan tentang beberapa aspek iaitu : aspek religious sofistis, moralitas, urusan dunia iaitu aspek budaya dan bekal hidup, dan aspek aktualitas manfaat. Dalam proses pendidikan Al-Ghazali membahagi ilmu kepada dua : pertama, ilmu yang fardhu ain iaitu ilmu yang wajib diketahui oleh setiap orang Islam. Ilmu-ilmu agama dengan segala macamnya. Kedua, ilmu yang fardhu kifayah iaitu setiap ilmu yang dibutuhkan oleh urusan dunia seperti kedokteran, ilmu hitung, pertanian, politik dan lain-lain.[17]
Al-Ghazali membahagi ilmu-ilmu dan menyusun urutannya menurut keperluan dan kepentingannya bagi pelajar dan sesuai dengan perbezaan nilai-nilai yang diletakkannya. Beliau meluruskan ilmu-ilmu itu sesuai dengan cacat-cacat yang nyata, yang dapat dterangkan dibawah ini :
Pertama, sebesar manfaat ilmu-ilmu itu untuk manusia dalam hidupnya menurut agama dan dalam dunianya yang terakhir, iaitu sebab kesucian dirinya, kebaikan akhlaknya, dan kedekatannya kepada Allah, serta kesiapan bagi dunia yang kekal. Kedua, sebesar manfaatnya untuk manusia sebab keperluannya dan pelayanannya untuk ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu bahasa dan ilmu nahwu. Ketiga, sebesar manfaatnya untuk manusia dalam hidupnya di dunia, seperti kedokteran, ilmu hitung, dan bermacam-macam ilmu perindustrian. Keempat, sebesar manfaatnya sebab kebudayaannya dan mengambil kesenangan dengan ilmu-ilmu itu dan peranannya dalam kehidupan sosialnya, seperti syiir, sejarah, politik, dan akhlak.[18]
Jelaslah bahawa metode pembelajaran Al-Ghazali terdapat dua kecenderungan :
1.    Kecenderungan religious sofistis, yang membuat beliau meletakkan ilmu-ilmu agama di atas setiap pemikirannya dan melihatnya sebagai alat untuk menyucikan jiwa dan membersihkannya dari kotoran duniawi.
2.    Kecenderungan aktualitas manfaat yang tampak dalam tulisan-tulisannya walaupun ia seorang sufi dan tidak suka kepada duniawi, Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilaiannya terhadap ilmu-ilmu menurut kegunaannya untuk manusia, baik dunia maupun akhirat.[19]
1.2.        Pengajaran
Al-Ghazali amat menekankan terhadap pentingnya persiapan bahan pengajaran oleh guru. Ia juga menekankan bahwa para guru harus mengamalkan ajaran-ajaran yang diajarkannya. Point lainnya yang berkenaan dengan pentingnya seorang guru agar menarik perhatian dalam mengembangkan dan mengajarkan pelajaran dengan cara bekerja sama dengan dengan para siswa yang dengan cara demikian, para guru telah memberikan fasilitas dan kesempatan kepada para siswa untuk memahami bahan pelajaran yang diajarkan.
Al-Ghazali selanjutnya mengingatkan para guru agar menghindari penyajian bahan pelajaran yang rumit dan sulit terhadap para siswa permulaan, dan meminta para guru agar memulai pelajaran dari yang paling mudah dan sederhana menuju kemata pelajaran yang sukar dan kompleks.[20]
Al-Ghazali selanjutnya mengingatkan para guru supaya memperhatikan tingkat daya pikiran anak, menerangkan pelajaran dengan cara yang sejelas-jelasnya, dan mengajarkan ilmu pengetahuan dengan cara berangsur-angsur.[21]
Al-Ghazali berpendapat bahawa guru yang sempurna akalnya, terpuji akhlaknya, yang layak diberi amanah mengajar anak-anak pada umumnya maka guru mesti memilik sifat-sifat yang diperlukan oleh jabatanya itu :
1.    Kasih sayang dan menyayangi, beliau menganjurkan hendaklah guru itu menempati kedudukan ayah bagi murid, bahkan beliau berpendapat bahawa hak yang dimiliki guru atas muridnya lebih besar daripada hak yang dimiliki orang tua atas anaknya.
2.    Guru tidak menuntut upah, tidak mengharapkan pujian, terima kasih, atau balas jasa dari murid pada pertemuannya dalam mengajar.
3.    Guru menjadi penunjuk yang jujur dan sebagai teman bagi muridnya.
4.    Guru menjauhi kekejaman dalam melatih perangai-perangai murid, ertinya menegur murid yang salah dengan cara yang bijak.
5.    Memberi semangat murid untuk memperoleh ilmu dari guru yang lain dengan tidak membatasi atau fanatik kepada seorang guru tanpa menghiraukan guru yang lain.
6.    Guru hendaklah ia tidak melahirkan kelemahan dan tidak memberikan ilmu kepada murid tanpa perhitungan, baik muted itu patut menerima atau tidak.
7.    Guru memberikan ilmu kepada muridnya yang jelas dan mudah yang sesuai dengan umurnya.
8.    Guru berpegang kepada prinsip dan berusaha merealisirnya mestilah menjadi sifat-sifat guru teladan.[22]
1.3.        Pandangan Tentang Nilai
Selanjutnya al-Ghazali menggunakan pendekatan aksiologis dalam menilai.
1.    Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di dunia maupun diakhirat. Misalnya ilmu sihir, nujum dan ilmu pedukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa madharat dan meragukan terhadap kebenaran adanya Tuhan oleh karena itu ilmu ini harus dijauhi.
2.    Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit. Misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Ilmu ini bila dipelajari akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci bersih serta dapat mendekatkan kepada Allah.
3.    Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu ini dapat membawa kepada kegoncangan iman, seperti ilmu filsafat.[23]
Al-Ghazali mendasarkan pemikirannya bahwa kurikulum pendidikan harus disusun dan selanjutnya disampaikan kepada murid sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan psikisnya. Pentahapan dalam kurikulum yang dirumuskan al-Ghazali ini sesuai dengan proses pendidikan anak yang diajarkan oleh Nabi SAW.
a.    Usia 00-06 th. adalah masa asuhan orang tua.
b.    Usia 06-09 th. Adalah masa dimulainya pendidikan anak secara formal.
c.    Usia 09-13 th. Adalah masa pendidikan kesusilaan dan latihan kemandirian.
d.    Usia 13-16 th. Adalah masa evaluasi terhadap pendidikan yang telah berjalan sejak pembiasaan, dimulainya pendidikan formal, pendidikan kesusilaan dan pendidikan latihan kemandirian.
e.    Usia 16 th. Dan seterusnya , adalah pendidikan kedewasaan.

2.     PERBANDINGAN KONSEP BARAT DAN TIMUR
1.    Persamaaan
2.    perbezaan
3.     ANALISIS KRITIS
4.     RUMUSAN
5.     RUJUKAN


Rujukan :
1.    Abdul Fatah Hasan (2001), Pengenalan Falsafah Pendidikan, PTS Publications & Distributor Sdn. Bhd. Pahang.
2.    Fathiyah Hasan Sulaiman, (1986), Al-Ghazali dan Plato dalam aspek pendidikan, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura.
3.    Frederick Mayer, (1951), A History of Modern Philosophy, American Book Company, New York.
4.    Hasbullah. Dasar Ilmu Pendidikan. 2005. Jakarta. Penerbit: PT RajaGrasindo Persada.
5.    Ihya Ulum al-Din Jilid I
6.    I. Djumhur dan H. Danasuparta, (1974), Sejarah Prndidikan, CV. Ilmu, Bandung.
7.    Ohoitimur, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer, (Traktat Kuliah SFT-SP).
8.    Syarifah Alwiah Alsagoff, (1984), Falsafah Pendidikan, Heinemann Asia, Kuala Lumpur.
9.    Y. B. Suparlan, (1984), Aliran-aliran Baru Dalam Pendidikan, Andi Offset, Yogyakarta.
10. Zamroni, (2001), Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society, Bigraf Publishing, Yogyakarta.


[1]Abdul Khodir, (2007), Filsafat Pendidikan Islam, Gama Media Offset, Yogyakarta.
[2]Abdul Fatah Hasan (2001), Pengenalan Falsafah Pendidikan, PTS Publications & Distributor Sdn. Bhd. Pahang. p. 77.
[3] Ibid…, p. 80
[4]Zamroni, (2001), Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society, Bigraf Publishing, Yogyakarta, p. 30-31.
[5] Y. B. Suparlan, (1984), Aliran-aliran Baru Dalam Pendidikan, Andi Offset, Yogyakarta, p. 82-84
[6] I. Djumhur dan H. Danasuparta, (1974), Sejarah Prndidikan, CV. Ilmu, Bandung, p. 88-90.
[7]  Ohoitimur, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer, (Traktat Kuliah SFT-SP), p. 79.
[8]  Ibid…, p. 79
[9] Frederick Mayer, (1951), A History of Modern Philosophy, American Book Company, New York, p. 535.
[10] Syarifah Alwiah Alsagoff, (1984), Falsafah Pendidikan, Heinemann Asia, Kuala Lumpur.
p. 37
[12] Budisutrisna, (1998), makalah seminar: Historisitas dalam Pandangan Confucius, Fak. Filsafat UGM, Yogyakarta, p. 6.
[13] Wan Ramli Wan Muhammad Azmi Aziz, (2002), Tokoh Falsafah Dunia, Lohprint Sdn. Bhd. Selangor, p. 7.
[14] Ibid..., p. 6.
[15]  Ibid..., p. 27.
[16]  Fung Yu Lan, (1990), A Short History of Chinese Philosophy, Alih bahasa Soejono Soemargono, Liberty Yogyakarta, p. 235.
[17] Ihya Ulum al-Din Jilid I p. 14  
[18] Fathiyah Hasan Sulaiman, (1986), Al-Ghazali Dan Plato : Suatu Studi Dalam Aspek Pendidikan, Bina Ilmu, Surabaya. p. 27
[19]Ibid…, p. 28-29.
[20]Zianuddin Alavi,  (2003), Pemikiran Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan, Angkasa, Bandung. p. 67.
[21]Zianuddin dkk. (1991), Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghazali, Bumi Aksara, Jakarta. p. 78-79.
[22] Ihya Ulum al-Din, Jilid I p. 49.
[23] Abudin Nata, (1997), Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacanan Ilmu, Jakarta. p. 166